Pelatihan Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia

By litbang 05 Nov 2019, 08:45:49 WIB litbang

Berita Terkait

Berita Populer

Pelatihan Pengelolaan Cagar Biosfer di Indonesia

Keterangan Gambar : UNESCO's Man and the Bioshphere programme and the World Network Biosphare Reserves oleh Prof. Dr. Y. Purwanto, DEA


Komite Nasional Program MAB-UNESCO Indonesia, LIPI bekerjasama dengan Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNUI), Direktorat Kawasan Konservasi (Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menyelenggarakan kegiatan Peningkatan Kapasitas Manajer/ Pengelola Cagar Biosfer Indonesia selama tiga hari, 29 - 31 Oktober 2019 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta dan Hotel Sangga Buana, Cipanas. Man and The Biosphere (MAB) Indonesia adalah program UNESCO yang mempromosikan dan mendemontrasikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam dengan pendekatan bioregional. Program ini dibentuk dengan maksud dasar untuk menyeimbangkan tujuan yang tampaknya bertentangan antara pelestarian keanekaragaman hayati, peningkatan pembangunan sosial dan ekonomi serta memelihara nilai-nilai yang terkait dengan budayanya.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program MAB UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan atas upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan. Saat ini Indonesia telah memiliki 16 cagar biosfer di tahun 2019 dengan luas 28.270.512 ha, di antaranya 5,5 juta ha merupakan kawasan konservasi. 16 cagar biosfer di Indonesia antara lain Cagar Biosfer (CB) Cibodas, CB Komodo, CB Tanjung Puting, CB Lore Lindu, CB Siberut, CB Leuser, CB Gayam Siak Kecil – Bukit Batu, CB Wakatobi, CB Bromo Tengger Semeru-Arjuno, CB Takabonerate – Kepulauan Selayar, CB Belambangan, CB Betung Keruhun Danau Sentarum – Kapuas Hulu, CB Berbak – Sembilang, CB Rinjani – Lombok, CB Togean Tojo Una-Una, serta CB Saleh-Moyo-Tambota (SAMOTA). Saat ini sedang diusulkan 3 cagar biosfer yang diusulkan, antara lain CB Bunaken Tangkoko Minahasa, CB Karimunjawa Jepara Muria, CB Merapi Merbabu Menoreh. Kabupaten Purworejo termasuk stakeholder yang mengelola Cagar Biosfer Merapi Merbabu Menoreh bersama BTN Merapi, BTN Merbabu, BKSDA Yogyakarta, Dinas LHK Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Seamarang, Kabupaten Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten, Sleman, Kabupaten Kulon Progo, serta Kabupaten Klaten.

Acara training ini didanai oleh UNESCO dan diikuti berbagai peserta, mulai dari KLHK, LIPI, KNIU, Perum Perhutani (Persero), 16 cagar biosfer dan 3 cagar biosfer yang sedang diusulkan, mitra, serta Gugus Tugas Multipihak Ditjen KSDAE. Hari pertama di Gedung Manggala Wanabakti pada 29 Oktober 2019 dihadirkan beberapa narasumber, antara lain Ir. Wahjudi Wadojo (penasehat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ahli Indonesia Bidang Alam untuk Komite Warisan Dunia (WHC) UNESCO 2015 – 2019, Anggota Advisory Committee UNESCO untuk Cagar Biosfer 2004 – 2008), Prof. Dr. Y. Purwanto, DEA mewakili Hans Dencker Thulstrup (UNESCO Office Jakarta), Endang Sukara (Pusat Studi Etika Lingkungan, Universitas Nasional, Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)), Ir. Wiratno, M.Sc. (Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem sebagai Keynote Speech), Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ir. Dyah Murtiningsih, M.Hum. (Direktur Kawasan Konservasi), serta Prof. Dr. Enny Sudarmonowati (Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Ketua Komisi Nasional Indonesia MAB UNESCO, President MAB ICC UNESCO).

Secara umum, cagar biosfer dibagi menjadi 3 zona: inti, penyangga, dan transisi. Zona inti merupakan kawasan yang dilindungi untuk konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem. Dalam zona ini aktivitas yang diperbolehkan hanyalah penelitian yang tidak merusak dan kegiatan lain yang berdampak rendah pada lingkungan, seperti pendidikan. Berikutnya adalah zona penyangga, yang merupakan area luar setelah zona inti. Zona ini pemanfaatannya lebih beragam dan lebih terbuka selama tidak terkait dengan aktifitas eksploitasi alam. Beberapa kegiatan tersebut diantaranya pendidikan, rekreasi, ekowisata dan penelitian. Sementara itu, zona transisi merupakan area terluar yang mengelilingi cagar biosfer. Di dalam zona ini diperbolehkan kegiatan pertanian, pemukiman dan pemanfaatan lain. Namun untuk mengelola zona transisi harus terdapat kerjasama dan kesepakatan dengan berbagai pemangku kepentingan: pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, pemerhati lingkugan, serta pemangku kepentingan lainnya. Untuk mewujudkan cagar biosfer yang terkelola dengan baik, diperlukan forum koordinasi dan komunikasi yang optimal, management plan yang baik, serta didukung aspek legal di tingkat nasional. Saat ini Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun draft Naskah Akademik dan Peraturuan Pemerintah mengenai Pengelolaan Cagar Biosfer.

Ir. Wahjudi Wardojo menyampaikan bahwa konsep cagar biosfer di Indonesia memerhatikan 3 aspek, antara lain proteksi (keanekaragama hayati), pembangunan berkelanjutan, serta science. Pengelola cagar biosfer diharapkan dapat memaknai arti dari cagar biosfer, tidak sebatas mengerti dan paham, sehingga implementasi program di cagar biosfer dapat dijalankan dengan baik. Cagar biosfer merupakan sebuah konsep integrated conservation and development, dalam hal ini konservasi tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan pembangunan. Di samping itu, masa depan dunia (global future) tergantung pada empat hal keanekaragaman hayati: pangan, energi, air bersih, dan obat-obatan. Indonesia sebagai super power keanekaragaman hayati dunia semestinya dapat menjaga cagar biosfer dengan baik. Berkaitan dengan taman nasional, apabila sudah rusak maka tidak dapat pulih kembali. Dalam kurun waktu 250 tahun pun tidak cukup untuk mengembalikan keanekaragaman hayati, meskipun secara kenampakan sudah banyak penghijauan.

Kolaborasi merupakan keniscayaan (a must, lebih tinggi dari keharusan) yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan cagar biosfer. Beberapa prasyarat kolaborasi dalam pengelolaan cagar biosfer antara lain mutual respect (saling menghargai), mutual trust (saling mempercayai), dan mutual benefit (saling memperoleh keuntungan). Mutual benefit dalam implementasinya contohnya bagi pemerintah daerah membutuhkan kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pihak swasta membutuhkan peningkatan reputasi, sementara LSM membutuhkan peningkatan reputasi. Terkait pada regulasi daerah, pemerintah daerah setempat semestinya menyantumkan cagar biosfer dalam muatan RTRW. Kapitalitasi posisi sebagai cagar biosfer juga penting dalam menguatkan posisi pemerintah daerah serta untuk mendukung peningkatan ekonomi. Cagar biosfer dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, misalnya dalam menaikkan harga merchandise karena telah memiliki brand cagar biosfer yang diakui di tingkat PBB.

Prof. Endang Sukara menyampaikan banyaknya potensi alam di Indonesia yang dapat dikembangkan untuk menjadi komoditas unggulan. Misalnya Pohon Bawang Putih Scorodocarpus borneensis (Baill) Becc, Family Olacaceae yang mengandung senyawa Scorocarpine B, inhibitor sel kanker leukemia (Simanjuntak, 2017). Beliau menyampaikan pula bahwa pengetahuan masyarakat terhadap cagar biosfer perlu diperhatikan guna meningkatkan partisipasi publik dalam menjamin konservasi dan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Sebagai contoh di Siberut Mentawai, pemerintah daerah setempat mengalokasikan dana 10 M guna mengembangkan hutan bambu. Tanaman ini dimanfaatkan sebagai buffer zone serta biomass yang dapat menghasilkan listrik. Selain sebagai batas kawasan inti cagar biosfer, tanaman bambu juga dapat menjadi sumber energi.

Ir. Wiratno, M.Sc. (Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) sebagai Keynote Speech menyampaikan bahwa pemerintah daerah harus melihat sisi kemanusiaan. Salah satu contoh di Siberut Utara, kantor Bappeda menjadi “Sekolah Sore”, tempat belajar bagi muri-murid sekolah di sekitarnya. Di lingkungan Taman Nasional Bukit Duabelas, siswa dijemput dan diantar sekolah oleh pengelola taman nasinoal. Kegiatan seperti ini tidak sesuai dengan tupoksi, namun bisa dilakukan. Wiratno menambahkan, pada masing-masing cagar biosfer sebaiknya dikembangkan satu program tertertu yang dapat menyejahterakan masyarakat dengan tetap memerhatikan kelestarian lingkungan.

Prof. Dr. Enny Sudarmonowati (Presiden MAB) menyampaikan 5 bidang aksi strategis MAB: (a) jaringan cagar biosfer dunia yang memiliki model pembangunan berkelanjutan yang berfungsi secara efektif, (b) kolaborasi dan jaringan yang inklusif, dinamis dan berorientasi pada hasil dalam program MAB dan jaringan cagar biosfer dunia (WNBR), (c) kemitraan ekssternal yang efektif, dan pendanaan bagi program MAB dan jaringan cagar biosfer dunia (WNBR) yang cukup dan berkelanjutan, (d) komunikasi dan berbagi informasi dan data secara komprehensif, modern dan terbuka, serta (e) pengelolaan program MAB dan jaringan cagar biosfer dunia (WNBR) yang efektif. Enny Sudarmonowati menyampaikan pula bahwa setiap cagar biosfer memerlukan logo sebagai branding, serta perlu diadakan pameran produk hasil dari cagar biosfer. Selain logo cagar biosfer, branding juga dapat menyertakan logo MAB. Di Indonesia saat ini belum ada verifikator produk cagar biosfer. Namun untuk UMKM produk lokal yang telah diverifikasi pemerintah daerah setempat, diperbolehkan menggunakan logo cagar biosfer dan MAB. Vietnam merupakan negara yang lebih baik dalam hal branding karena pengelolaannya terpusat, sementara di Indonesia pengelolaannya diberikan pada masing-masing daerah. Sisi positifnya, di Indonesia lebih kuat pada kebijakan secara sustain.

Cagar biosfer dimonitoring dan dilaporkan secara bekala. Dalam hal pelaporan, akan baik apabila pelaporan dikaitkan dengan SDGs. Menambahkan, Ir. Dyah Murtiningsih, M.Hum., Direktur Kawasan Konservasi menyampaikan adanya periodic review terhadap cagar biosfer, setiap 10 tahun sekali. Namun, setiap 5 tahun akan dilakukan review berkala secara internal.

Kegiatan di Hotel Sangga Buana, Cipanas dihadirkan berbagai narasumber, antara lain Prof. Dr. Y. Purwanto, DEA (MAB Indonesia, LIPI) dengan materi Pengelolaan Cagar Biosfer Indonesia, Cahyo Rahmadi (Research Center for Biology, Indonesian Institute of Science LIPI) dengan materi Monitoring Keanekaragaman Hayati – Studi Kasus Ekosistem Karst, Hari Nugroho (Komite Nasional MAB-UNESCO Indonesia) dengan materi Revitalisasi Kelembagaan Cagar Biosfer Indonesia, Ir. Arief Mahmud, M.Si. (Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum) dengan materi Lesson Learn Indonesian BR – Cagar Biosfer Betung Kerihun Danau Sentarum Kapuas Hulu, serta La Tarima, SS., M.Si. (Kepala Bappeda Kabupaten Wakatobi) dengan materi Lesson Learn Indonesian BR – Pengelolaan Cagar Biosfer di Bumi Maritim Wakatobi.

Prof. Dr. Y. Purwanto, DEA menyampaikan terdapat dua prinsip dalam cagar biosfer: melestarikan dan ekonomi berkelanjutan. Di samping cagar biosfer, UNESCO menetapkan status world heritage dan geopark. Satu-satunya daerah yang memiliki 3 status tersebut adalah Jeju, Jepang. Di Indonesia saat ini maksimal hanya 2 status. Cagar biosfer memiliki manfaat untuk masyarakat (jasa ekosistem, kegiatan produksi, dan kelestarian budaya), bagi kawasan konservasi (kelestarian SDAH dan ekosistem), pengembangan Iptek (laboratorium alam), bagi pemerintah (pemda dan pusat: pengembangan ekonomi berkelanjutan, nilai social budaya, dan citra pemerintah), bagi sektor swasta (nilai komoditas), serta para pihak lain (komunikasi, koordinasi, kerjasama, tukar pengetahuan dan pengalaman).

Hari Nugroho menjelaskan mengenai UU No. 5 tahun 1990 yang berisi mengenai aturan pengelolaan cagar biosfer yang selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah, termuat di Pasal 18. Dalam mengelola cagar biosfer, dipaparkan dalam forum bahwa kabupaten tidak perlu membuat zonasi, karena telah ditetapkan. Namun untuk zona transisi, kebijakan ada di masing-masing kabupaten, dapat dideliniasi mencakup seluruh daerah sesuai batas administrasi atau hanya sebagian. Terdapat tiga hal yang diperoleh dari cagar biosfer: kawasan inti yang lebih secure, tidak terjadinya konflik kepentingan, status zonasi yang jelas sehingga tercipta networking dan ekonomi yang baik, serta mampu meningkatkan SDM. Infrastruktur dapat dibangun di kawasan inti cagar biosfer, namun harus merupakan kesepakatan dalam pembahasan di forum yang menghadirkan elemen pemerintah, masyarakat, akademisi, serta LSM pemerhati lingkungan.

Pada hari terakhir, dilaksanakan kegiatan field trip di Situ Gunung Taman Nasional Gunung Gede Pangrango – Sukabumi. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) adalah salah satu taman nasional yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Ditetapkan pada tahun 1980, taman nasional ini merupakan salah satu yang tertua di Indonesia. TN Gunung Gede Pangrango terutama didirikan untuk melindungi dan mengkonservasi ekosistem dan flora pegunungan yang cantik di Jawa Barat. Dengan luas 24.270,8 ha, wilayahnya mencakup dua puncak gunung Gede dan Pangrango beserta tutupan hutan pegunungan di sekelilingnya. ~fid